Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, yakni tauhid. Namun kemudian anak bisa berubah dari fitrahnya karena lingkungan di sekitarnya. Dalam hadits Nabi saw yang terkenal, disebutkan bahwa fitrah anak bisa berubah di tangan kedua orangtuanya. Ini sangatlah benar karena orangtua adalah lingkungan yang paling dekat dengan anak. Karena itu, peran orangtua sebetulnya adalah yang paling penting dalam pendidikan anak. Karena itu tidak benar jika ada orangtua yang berpendapat bahwa pendidikan anak-anaknya sudah cukup dilakukan di sekolah saja.a.
Tetapi memang orangtua bukanlah satu-satunya yang bisa mempengaruhi seorang anak, tetapi juga guru-gurunya, apa yang ia dengar, ia baca, dan ia tonton, serta lingkungan pergaulannya. Untuk itu, hendaknya setiap orangtua mencarikan guru dan sekolah yang terbaik untuk anaknya. Juga mengarahkan dan mengawasi bacaan dan tontonan anaknya, serta dengan siapa saja anaknya bergaul.
Pendidikan Sedini Mungkin
Islam mengajarkan agar kita mendidik anak sedini mungkin. Mendidik anak bahkan sudah dimulai saat kita memilih pasangan hidup. Tidak lain karena pendidikan anak nantinya juga sangat tergantung pada kualitas pasangan hidup kita. Rasulullah saw bersabda, “Pilihlah ladang yang baik untuk menanam bibit (sperma) kalian.”
Kemudian kita juga mulai mendidik anak ketika anak masih dalam kandungan. Demikian juga tentu saja setelah anak telah terlahir ke dunia. Kalimat pertama yang kita perdengarkan di telinga anak yang baru terlahir adalah kalimat-kalimat thayyibah berupa adzan dan iqamat. Pendek kata, jangan pernah menunda-nunda dalam mendidik anak. Lakukanlah sedini mungkin.
Pendidikan Integral
Islam menginginkan agar anak-anak dididik menjadi manusia yang kuat dan mandiri. Karena itulah Al-Qur’an memperingatkan jangan sampai kita meninggalkan anak keturunan yang lemah. Lemah disini jangan hanya diartikan dari sisi materi, tetapi juga dari sisi spiritualitas, mentalitas, dan moralitas. Karena itu orangtua ketika mencari sekolah untuk anak-anaknya jangan hanya berpikir tentang sekolah yang bisa membuat anaknya pintar matematika dan bahasa Inggris, atau nilai Unas yang tinggi. Tetapi harus juga berpikir sekolah mana yang bisa menanamkan keimanan, karakter, dan moral yang baik kedalam diri anak.
Dalam perspektif Islam, pendidikan yang diberikan kepada anak harus integral. Tidak hanya mendidik satu sisi saja lalu mengabaikan sisi yang lainnya. Anak harus dididik untuk menjadi manusia yang kuat iman dan ibadahnya serta bagus akhlaqnya, dan pada saat yang sama harus juga dididik untuk menjadi anak yang pintar, anak yang sehat, anak yang kuat, dan anak yang terampil. Karena itu, Rasulullah saw disamping memerintahkan kepada para sahabat beliau untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak mereka, juga memerintahkan mereka untuk mengajari anak-anak mereka berenang, memanah, dan menunggang kuda. Maka sangat menggembirakan sekarang ini telah banyak bermunculan sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum integral, yang memadukan antara imtaq dan iptek, yang memadukan antara kurikulum Diknas dengan kurikulum ala pesantren. Dengan pendidikan integral seperti ini, diharapkan akan muncul manusia-manusia yang “berotak Jerman” tetapi “berhati Mekkah”. Manusia yang ber-imtaq sekaligus ber-iptek.
Meski pendidikan imtaq dan iptek harus sama-sama diberikan kepada anak, namun yang lebih prioritas untuk diberikan sedini mungkin adalah pendidikan imtaq. Al-Qur’an sendiri mencontohkan bagaimana Ya’qub as dan Luqman menekankan pendidikan tauhid kepada anak-anak mereka. Yang demikian ini tidak lain karena imtaq ibarat pondasi sebuah bangunan. Apalah gunanya bangunan dibuat megah dan indah akan tetapi diatas pondasi yang rapuh? Tentu keruntuhan bangunan itu hanya soal waktu. Kita sendiri menyaksikan di negeri ini cukup banyak orang pintar, namun sedikit sekali yang jujur dan bermoral tinggi. Lain halnya jika pondasi sudah kuat dan kokoh, maka bangunan tinggal ditinggikan dan dibuat megah. Karena itu penting bagi setiap orangtua untuk memperkuat imtaq anak pada usia dini, dan memilihkan pendidikan dasar yang memberikan pendidikan imtaq yang baik.
Mendidik dengan Keteladanan
Mendidik tidak sekadar mengajar. Mendidik tidak semata-mata mentransfer pengetahuan. Lebih dari itu, mendidik adalah menanamkan nilai-nilai, sikap, dan perilaku. Dengan hakikat pendidikan yang seperti ini, tidaklah cukup pendidikan hanya dilakukan dengan berkata-kata atau berceramah. Perlu ada keteladanan.
Rasulullah saw adalah panutan kita dalam hal ini. Allah SWT sendiri telah berfirman, “Sungguh bagi kalian pada diri Rasulullah ada suri tauladan yang baik.” Dan Rasulullah saw terbukti telah berhasil mendidik para sahabat beliau menjadi pribadi-pribadi unggul dan terbaik melalui keteladanan beliau. Rasulullah saw tidak hanya berkata-kata dan berceramah, tetapi langsung memberikan keteladanan. Rasulullah saw tidak hanya membacakan Al-Qur’an dan mengajarkan makna dan kandungannya, tetapi juga “Al-Qur’an yang berjalan” yang disebut oleh Aisyah ra sebagai: “Akhlaq beliau adalah Al-Qur’an.” Ini penting dipahami oleh setiap orangtua dan pendidik. Jangan sampai kita mengatakan dan mengajarkan sesuatu tetapi dalam keseharian justru bersikap dan berperilaku yang sebaliknya. Ingatlah bahwa lisanul hal afshahu min lisanil maqal “bahasa tindak-tanduk dan perbuatan lebih fasih daripada bahasa kata-kata”. Apalagi anak-anak punya kecenderungan tinggi untuk mencontoh. Pepatah bilang: “Guru kencing berdiri, anak kencing berlari.”
Pendekatan yang Tepat
Apakah sebaiknya kita mendidik anak kita dengan cara-cara liberal ala Amerika ataukah dengan cara yang keras dan disiplin ala Cina? Buku-buku Amerika barangkali sering mengajarkan agar kita jangan sekali-kali memarahi anak dengan alasan akan mematikan daya kreativitas dan inisiatifnya. Hubungan anak dengan orangtua hendaknya sedemokratis mungkin. Sebaliknya pendekatan ala Cina sering digambarkan sebagai pendidikan yang keras dan penuh disiplin. Orangtua berada pada posisi yang superior terhadap anak. Orang-orang Cina percaya bahwa anak mereka akan kuat dengan tekanan seperti itu, sampai anak itu benar-benar berhasil.
Kalau kita memperhatikan Al-Qur’an, kita akan melihat bahwa Islam memiliki pendekatan yang seimbang. Tidak terlalu keras namun juga tidak terlalu liberal. Al-Qur’an mengajarkan bahwa tidak selamanya kita haram berkata “jangan” kepada anak. Menurut Al-Qur’an, dalam perkara-perkara yang prinsip orangtua jangan ragu-ragu untuk berkata “jangan” kepada anak. Sebagai contoh, Al-Qur’an menceritakan kisah Luqman yang berkata kepada anaknya, “Wahai anakku sayang, janganlah engkau menyekutukan Allah.” Meskipun berkata “jangan” namun orangtua menyampaikannya dengan penuh kasih sayang. Ini bisa kita lihat dari cara orangtua memanggil anaknya: “Ya bunnayya (Wahai anakku sayang).”
Rasulullah saw pun mengajarkan agar kita tidak segan-segan memukul anak kita pada usia sepuluh tahun jika ia meninggalkan sholat. “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka pada usia sepuluh tahun bila tidak mengerjakan shalat, serta pisahkanlah mereka di tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud dengan sanad hasan) Tentu saja yang dimaksudkan oleh beliau adalah pukulan mendidik, pukulan kasih sayang, dan pukulan yang tidak menyebabkan luka apalagi mencederai.
Tidakkah kita tahu bahwa tradisi dan khazanah Islam telah menawarkan pendekatan seperti apa yang semestinya kita lakukan dalam mendidik anak? Ali bin Abi Thalib mengatakan dalam sebuah ungkapannya yang masyhur : “Ajaklah anak bermain pada tujuh tahun pertama, disiplinkanlah anak pada tujuh tahun kedua dan bersahabatlah pada anak usia tujuh tahun ketiga.” Selaras dengan ini, Ibnu Sina berkata, “Tujuh tahun pertama perlakukan anak seperti raja, tujuh tahun kedua seperti tawanan, dan tujuh tahun ketiga perlakukan anak seperti mitra.” Ini artinya, sampai dengan usia 7 tahun adalah dunia bermain bagi anak, usia 7 sampai 14 tahun adalah masa untuk mulai menanamkan kedisiplinan kepada anak, dan usia 14 sampai 21 tahun adalah masa untuk memperlakukan anak seperti teman dan sahabat karena mereka sedang berada dalam masa remaja, masa dimana anak memiliki ego yang tinggi dan ingin merasa dianggap dan dihargai. Disamping juga karena usia 14 sampai 21 tahun itu adalah masa untuk mengantarkan anak menuju kedewasaan dan kemandirian. Wallahu a’lam bish shawab.
http://ikadijatim.org/mendidik-anak-cara-islam/
Posting Komentar