Oleh: Dian Utami
YOGYAKARTA, Jum’at (Sahabat Al-Aqsha): Menjelang peringatan Hari Nakba (musibah/bencana) tanggal 15 Mei biasanya eskalasi kekerasan dan unjuk rasa yang berakhir dengan penahanan bahkan pembunuhan oleh tentara ‘Israel’ akan meningkat di daerah-daerah Palestina terjajah. Sejak 2011, negara siluman ‘Israel’ menetapkan Undang-undang Nakba, dimana mereka bisa memberikan sanksi terhadap pihak yang memperingati Hari Nakba dalam berbagai bentuknya. Dua tahun lalu, dua pemuda Palestina; Muhammad Abu Thahr (22) dan Nadim Nuwara (17) ditembak dan syahid di dekat kota Ramallah. Tahun lalu, seorang fotografer Palestina ditembak di bagian mata di dekat kota Nablus di Tepi Barat.
Tanggal 14 Mei tahun 1948 adalah saat Inggris menarik pasukan terakhirnya dari tanah Palestina dan bersamaan dengan itu orang Yahudi yang telah secara bergelombang dalam jangka waktu seratus tahun lebih memasukinya dari seluruh dunia, mengakui tanah tersebut sebagai hak mereka, dan kemudian mendeklarasikan berdirinya negara Yahudi bernama ‘Israel’. Amerika dan Soviet spontan mengakui dan merestui negara haram tersebut. Negara yang diperoleh dengan merampas, mengusir dan membunuh rakyat Palestina.
Tak kurang dari 800 ribu bangsa Palestina diusir dari rumah, ladang dan tanah mereka (60 persen dari warga Palestina saat itu) ke luar negara. Sekitar 30 ribu diusir ke daerah yang telah ditaklukkan. Dari 580 perkampungan rakyat Palestina, 478 di antaranya dihancurkan bersamaan dengan pembantaian massal oleh tentara ‘Israel’ saat itu.
Arafat Hijazi, salah seorang saksi yang masih hidup menceritakan, “Saya melihat seorang tentara Zionis memegang saudara saya, Saliha al-Halabi yang hamil sembilan bulan. Dia meletakkan senapannya di leher Saliha lalu memuntahkan peluru sehingga Saliha terbunuh. Tentara Zionis tersebut mengambil sebilah pisau lalu membelah perutnya sehingga terburai, kemudian mengeluarkan anak Saliha yang telah mati dengan pisau Nazinya yang mengerikan itu.” (Kamp Pelarian Nahrul Barid, Lubnan 1948)
Itulah hari dimana bangsa Palestina terhapus dari peta dunia. Sungguh ironis dimana pada tahun yang sama Deklarasi Hak Asasi Manusia disepakati sebagai bagian dari Piagam PBB. Dan bangsa Palestina menjadi korban pertama pelanggaran hak asasi manusia yang disaksikan oleh seluruh dunia. Bukankan ‘kemerdekaan adalah hak segala bangsa’? Lalu di mana hak bangsa Palestina?
Dari bangsa Palestina yang terusir dan berstatus pengungsi, serta warga di berbagai negara kini menjadi sekitar enam hingga tujuh juta generasi kedua dan ketiga yang terasing dari kampung halaman. Tak bisa menjejakkan kaki di tempat kelahiran orangtua mereka. Hanya mendengar cerita tentang tanah air tercinta mereka dari mulut dan berita. Inikah kisah pengungsian terpanjang dalam sejarah? Mereka telah menunggu 68 tahun untuk pulang kampung. Mereka masih menyimpan kunci-kunci rumah para orangtua mereka yang dibawa saat terusir, sebagai simbol bahwa mereka akan kembali.
Nelson Mandela dinobatkan sebagai pahlawan kemanusiaan karena terpenjara selama 30 tahun demi melawan sistem apartheid di Afrika Selatan. Maka, mengapa rakyat Palestina baik yang mengungsi maupun 12 ribu orang yang dipenjara selama bertahun-tahun melawan kesewenangan dan penjajahan tak pantas mendapat gelar yang sama?
Adakah yang membaca sejarah bagaimana pasukan Sultan Bayazid II menyelamatkan 150 ribu orang Yahudi yang terusir dari Spanyol dibawa menuju wilayah Turki Utsmani yang aman? Sultan mengirim surat perintah ke seluruh wilayahnya agar menyambut para pengungsi dengan sebaik-baiknya. Dan inilah balasan keturunan mereka terhadap kaum Muslimin Palestina:
Blokade dan tembok raksasa yang menyekat kehidupan normal telah menjadikan Palestina sebagai penjara terbesar di dunia. Penghancuran rumah dan pencaplokan tanah masih terus berlangsung seiring dengan terus berkembangnya pembangunan perumahan untuk warga Yahudi. Penyiksaan, penangkapan dan penembakan adalah realita sehari-hari yang terjadi di daerah-daerah terjajah. Gaza yang masih merdeka terus dikepung dari berbagai penjuru. Peningkatan serangan pada Baitul Maqdis oleh tentara Zionis, yang dengan biadab merusak dan membakar Masjidil Aqsha (tahun 1969), merobek-robek kitab suci Al-Quran, dan membunuh jamaah yang sedang melakukan shalat, proyek Yahudisasi Baitul Maqdis dan pembangunan Kuil Sulaiman.
Lalu di mana peran kita?
Dengan berbagai kekuatan dan sokongan yang mereka nikmati, ternyata penjajah Zionis tetap tidak berhasil membina The Greater ‘Israel’yang mereka cita-citakan. Amerika Serikat setiap tahun mengucurkan dana yang tak tanggung-tanggung besarnya untuk ‘Israel’. Mulai tahun ini pihak pertahanan ‘Israel’ menerima bantuan lima miliar dolar Amerika (bebas pajak) untuk keperluan mereka setiap tahun, selama 10 tahun ke depan.
Namun, bangsa Palestina tetap eksis dan bertahan betapapun beratnya perjuangan yang mereka hadapi. Gaza tak berhasil mereka taklukkan. Mata dunia mulai terbuka dengan berbagai kekejian dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negara jadi-jadian itu. Begitu banyak warga dunia bahkan pimpinan dan tokoh terkemuka dengan berbagai latar belakang makin kencang ikut bersimpati terhadap nasib dan perjuangan rakyat Palestina yang terjajah. Aktivis kemanusiaan dari berbagai negara ikut menyuarakan kemerdekaan untuk negara Palestina. Hari Nakba dan Hari Solidaritas Palestina senantiasa digaungkan dan ditandai di seluruh dunia, negara besar dan kecil, negara maju dan miskin.
Di dalam Al-Quran Allah telah menjanjikan bahwa pada akhirnya bangsa Yahudi yang senantiasa membangkang dan sombong akan dihukum dan dilenyapkan dari muka bumi. Namun, sebelum Allah memenuhi janjiNya, maka di pundak kaum Muslimin ada utang yang harus dilunasi berbentuk pembelaan pada negeri para Nabi dan Sahabat. Negeri kiblat pertama, negeri tempat Isra dan Mi’raj yang diabadikan dalam Al-Quran. Kita mesti perjuangkan dengan kata dan hati, dengan segenap kekuatan dan keberdayaan. Menjadikan isu Baitul Maqdis sebagai isu aqidah dan isu ummat Islam seluruh penjuru dunia.
Tugas kita ‘hanyalah’ menyatukan kekuatan ummat Islam dalam satu sistem yang sempurna dan menyempurnakan. Tugas kita ‘hanyalah’ menyerukan perjuangan menegakkan kalimah Allah Subhanahu wa Ta’ala, membina generasi yang bertaqwa dan memelihara diri dari maksiat. Karena kita tak tahu generasi ke berapa yang akan membebaskan Palestina dan Al-Aqsha, tugas kita ‘hanyalah’ menyiapkan mereka. Barulah kita boleh berharap Allah akan mendengar doa kita, menyaksikan aliran air mata kita. Hingga dipenuhiNya-lah janji-janjiNya.
Hingga Palestina dan Al-Aqsha merdeka.* (Sahabat Al-Aqsa)
Posting Komentar