Oleh: Ustad Budi Ashari
Bermain sih memang dunia anak-anak...
Kalimat ini seperti telah menjadi sebuah aksioma tak terbantahkan. Saya pun tidak sedang ingin membantah. Saya sepaham dengan kalimat ini.
Kalau begitu apa yang mau dibahas di tulisan ini?
Tulisan ini merupakan mukaddimah untuk konsep utuh yang Islami tentang dunia permainan bagi anak-anak – biidznillah-.
Apakah harus segitunya...?
Oh ya, karena Nabi sendiri yang memilihkan, menyetujui dan mengarahkan tentang permainan anak-anak di zaman terbaik itu. Bahkan para ulama juga bicara tentang hal ini.
Sebenarnya para ahli kesehatan dan pendidikan hari ini juga mengingatkan berulang-ulang tentang bahaya sebuah permainan tertentu.
Apalagi jika kita baca ayat berikut ini,
ﻳَﺎ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺧُﺬِ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﺑِﻘُﻮَّﺓٍ ﻭَﺁﺗَﻴْﻨَﺎﻩُ ﺍﻟْﺤُﻜْﻢَ ﺻَﺒِﻴًّﺎ
“ Wahai Yahya! Ambillah (pelajarilah) Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.”Dan Kami Berikan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak-kanak .” (Qs. Maryam: 12)
Kata shobiyya di ayat ini terasa spesial, karena di dalam Al Quran tidak ada orang yang diberi Allah hikmah di usia kanak-kanak selain Yahya. Ada penekanan yang sangat kuat pada kata shobiyya (usia kanak-kanak). Menurut Al Qurthubi dalam tafsirnya, menukil kalimat Muqotil dan Qotadah bahwa usianya baru 3 tahun saat dianugerahi hikmah.
Dan berikut penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya,
(Dan Kami Berikan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak-kanak.) yaitu: pemahaman, ilmu, kesungguhan, tekad, menyambut kebaikan, serius menjalaninya dan bersungguh-sungguh di dalamnya pada usia belia.
Abdullah bin Mubarak berkata: Ma’mar berkata: anak-anak kecil berkata kepada Yahya bin Zakariya: Ayo kita bermain...
Yahya menjawab: Bukan untuk bermain, aku diciptakan.
Ma’mar berkata: Karena itulah Allah menurunkan ayat ini .
Jelas sekali, ada hasil yang luar biasa dari ketidakbermainan Yahya di usia kecilnya untuk mendapatkan sejak awal: pemahaman, ilmu, kesungguhan, tekad, menyambut kebaikan dengan serius dan bersungguh-sungguh dalam menjalaninya.
Jika ditanyakan kepada kita semua. Siapa yang tidak ingin generasinya mempunyai semua kemuliaan itu sejak kecil? Jawabannya: semua kita menginginkannya.
Biarkan tulisan di atas seperti itu, jangan disimpulkan dulu. Sampai kita membaca penuturan tentang biografi dua orang besar dalam sejarah Islam; Ibnul Jauzi dan An Nawawi. Dua nama yang tidak asing bagi kita para pecinta ilmu. Keduanya ulama besar yang melahirkan kebesaran, dengan nama yang selalu dikenang istimewa di setiap zaman.
Dalam buku karya Ibnul Jauzi sendiri (Al Muntadzam fi Tarikh al Umam wal Muluk), dia menceritakan tentang dirinya waktu usia kanak-kanak,
“ Sesungguhnya kebanyakan nikmat padaku bukan karena usahaku, tetapi karena anugerah dari Yang Maha Lembut untukku. Aku ingat bahwa aku ini adalah orang yang mempunyai tekad yang tinggi. Aku di Kuttab pada usia 6 tahun. Aku ini berteman dekat dengan anak-anak yang sudah besar. Aku dianugerahi akal yang besar di usia kecilku. Seingatku aku tidak pernah bermaindengan anak-anak di jalanan. Tidak juga tertawa lepas di luar. Hingga ketika aku berusia 7 tahun atau sekitar itu, aku hadir di pelataran masjid. Aku tidak memilih kumpulan yang mengenyangkan. Tapi aku mencari seorang ahli hadits. Beliau bicara tentang sejarah dan aku pun hapal semua yang aku dengar darinya. Kemudian aku pulang ke rumah dan menulisnya.
Aku bersyukur bertemu syekh kami Abul Fadhl bin Nashir rahimahullah. Beliau membawaku ke beberapa syekh. Beliau menyampaikan kepadaku Al Musnad (kitab hadits) dan yang lainnya berupa kitab-kitab besar. Dan aku tidak tahu apa yang beliau inginkan dariku. Beliau mengoreksi ilmu yang telah saya dengar sampai saya berusia baligh. Kemudian beliau memberikan ijazahnya kepadaku. Aku terus bersama beliau sampai beliau wafat, rahimahullah. Aku mendapatkan pengetahuan tentang hadits dan periwayatannya.
Anak-anak dahulu bermain dengan turun ke Sungai Dijlah dan menikmati pemandangan dari atas jembatan. Aku di usia itu mengambil sebuah juz dari Al Quran dan aku duduk menjauh dari manusia untuk menyibukkan diri dengan ilmu.”
Selanjutnya, inilah biografi An Nawawi di usia kecil, sebagaimana yang dituturkan langsung oleh gurunya An Nawawi; Syekh Yasin bin Yusuf Az Zarkasyi,
“ Aku melihat Muhyiddin An Nawawi saat berusia 10 tahun di Nawa. Anak-anak kecil lainnya memaksanya bermain bersama mereka. Dia lari menjauhi mereka sambil menangis karena tidak suka dipaksa. Dia kemudian membaca Al Quran pada situasi seperti itu. Tumbuhlah rasa cintaku padanya. Ayahnya meletakkannya di tokonya. Tapi Al Qurannya tidak tersita oleh kesibukan jual beli.Maka aku pun mendatangi guru yang mengajarinya Al Quran dan aku berpesan padanya: Anak kecil ini diharapkan kelak menjadi orang paling berilmu di zamannya, paling zuhud dan bermanfaat bagi manusia. Dia berkata kepadaku: Apakah kamu peramal? Aku jawab: Bukan, tetapi Allah lah yang membuatku bicara seperti itu.
Gurunya itu pun mendatangi orangtuanya (An Nawawi). Dan ia mendorongnya dengan penuh semangat sampai (An Nawawi) hafal seluruh Al Quran menjelang usia baligh. (Thabaqat Asy Syafi’iyyah , As Subki)
Ternyata dua orang tokoh besar dalam sejarah Islam ini adalah dua orang yang di masa kecilnya tidak suka bermain. Mereka sudah asyik dengan ilmu sejak awal usianya.
Nah, mari kita simpulkan sekarang.
Sekali lagi, bermain bagi anak-anak jelas merupakan kebaikan baginya. Walaupun perlu sebuah konsep bermain yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya dengan panduan Nabawi.
Tetapi, manakala ada anak yang tidak suka dengan dunia permainan. Lebih gemar duduk bersama ilmu dan ahli ilmu. Sudah mapan dan siap menelaah kitab-kitab besar sekalipun.
Seharusnya segera diarahkan dan dibimbing untuk meraih kebesarannya di usia lebih awal. Jangan justru ditakut-takuti dengan berbagai kalimat yang memaksa mereka untuk bermain yang sebenarnya tidak ia sukai. Dan memaksa mereka untuk menyapih kegemarannya duduk bersama ilmu dan ahli ilmu.
Karena dalam dirinya ada kalimat Nabi Yahya: Bukan untuk bermain, aku diciptakan!
Posting Komentar