Minggu, 17 Juni 2012
Oleh Cahyadi Takariawan*Papua memang luar biasa. Selalu penuh motivasi dan inspirasi. Enam tahun tidak menginjakkan kaki ke Jayapura, sudah sangat banyak cerita-cerita heroik yang saya dapatkan dari sana.
Tiba di bandara Jayapura saya merasa terkejut, betapa sudah demikian bagus kondisinya. Baru dan bersih. Onomi Fokha, selamat datang di Jayapura, demikian kalimat sambutan di gerbang bandara Jayapura. Pak Danangjaya, aktivis dakwah senior di Papua menjemput saya dan isteri di bandara.
Sangat cepat pemekaran wilayah ini. Dulu tidak sampai duapuluh kabupaten dan kota, sekarang Papua mekar menjadi 29 (duapuluh sembilan) kabupaten dan kota. Medan yang sangat sulit, wilayah yang luas, transportasi yang beresiko tinggi, biaya perjalanan yang mahal, kader yang terbatas, tidak pernah menyurutkan semangat para aktivis dakwah di Papua.
Segera terbayang oleh saya, betapa simpelnya dakwah di Yogyakarta. Empat kabupaten, satu kota. Jarak Gunung Kidul menuju Kulon Progo cukup ditempuh perjalanan darat satu setengah jam saja. Bayangkan di Papua. Perjalanan dari Merauke menuju Asmat, yang merupakan wilayah pemekaran dari Merauke, memerlukan waktu tiga hari tiga malam dengan kapal laut. Jika ditempuh dengan pesawat terbang, memerlukan waktu dua jam dari Jayapura.
Apa yang kita dapatkan di Asmat? Wilayah Asmat dipenuhi oleh rawa. Semua rumah penduduk, kantor pemerintahan, jalan bahkan lapangan olah raga, dibuat di atas rawa dengan papan kayu. Tidak ada daratan di kota Asmat, sehingga semua warga masyarakat berjalan kaki kemanapun mereka pergi. Termasuk Bupati dan para pejabat daerah lainnya. Bandara juga dibuat di atas rawa, dengan landasan dari “tikar besi” yang ditaruh di atas rawa. Apabila air sedikit naik, akan menutupi landasan besi tersebut sehingga pesawat tidak bisa mendarat atau terbang meninggalkan Asmat.
Jika kita naik pesawat, bersiap saja untuk menetap seminggu atau dua minggu lamanya di Asmat, menunggu pesawat berikutnya yang bisa mendarat dan terbang. Bukan soal menunggu, namun di Asmat tidak ada air bersih dari sumur apalagi PDAM. Adanya air rawa bersama hutan bakau. Air bersih hanya bisa didapatkan dari tampungan air hujan. Jika seminggu saja tidak ada hujan, masyarakat akan kesulitan minum air bersih, kesulitan mandi dan aktivitas yang memerlukan air lainnya.
Tidak ada mobil di kota Asmat, dan hanya ada sedikit motor, karena tidak ada jalan aspal atau jalan tanah. Yang ada hanyalah jalan di atas rawa, dari papan-papan kayu. Sepanjang mata memandang, yang tampak hanyalah rumah sederhana yang berdiri di atas papan kayu di atas air rawa. Kantor Bupati di atas papan kayu, kantor DPRD di atas papan kayu, kantor Dinas, sekolahan, lapangan sepak bola, semua di atas papan kayu. Semua di atas rawa. Kita harus siap berjalan kaki kemana saja.
Di kabupaten Asmat ada sepasang suami isteri kader dakwah, yang datang karena mutasi kerja. Mereka berdua yang membuka lahan dakwah dan tarbiyah di Asmat. Luar biasa perjuangan kader mujahid ini. Di kabupaten yang terpencil itu, ada aktivis dakwah yang berhasil menjadi anggota DPRD. Ini menandakan, penyebaran dakwah sudah sedemikian meluas, bukan terbatas di kota-kota besar. Bahkan di Asmat, sebuah kabupaten yang masih sangat tertinggal, telah pula diwarnai oleh dakwah dan tarbiyah.
Di Papua, saat ini kader inti dakwah bukan hanya terdiri dari kelompok pendatang. Beberapa warga asli Papua sudah menjadi kader dakwah. Diantaranya adalah mbak Vera, bapaknya warga asli Paniai dari marga Edoway. Ada pula pak Ibrahim yang putra asli Papua. Ini menjadi contoh bahwa dakwah sudah memasuki masyarakat asli Papua, bukan hanya di kalangan para pendatang non Papua. Saya juga merasa sangat terharu mendapatkan berita perkembangan sekolah-sekolah Islam di berbagai daerah di Papua. Ternyata sekolah Islam sudah sangat diminati, bahkan di Wamena yang jauh di daerah pegunungan sana, sekolah Islam telah sangat banyak peminatnya.
Mobilitas para kader di Papua sangat tinggi. Dengan jumlah yang sangat terbatas, mereka harus mengelola wilayah yang sangat luas. Setiap hari lalu lalang kader berjalan ke berbagai kabupaten untuk menunaikan amanah dakwah. Biaya perjalanan menjadi salah satu kendala, karena perjalanan antar kabupaten harus ditempuh dengan pesawat. Jika naik kapal, maka akan sangat menghabiskan waktu. Itupun tidak bisa menempuh semua wilayah, mengingat banyak wilayah yang berada di pegunungan.
Melihat mobilitas yang sangat tinggi itu, saya menjadi lebih mengerti mengapa perkembangan dakwah di Papua demikian pesatnya. Mereka harus terus bekerja. Mereka didera malaria. Satu per satu kader harus istirahat karena malaria. Jika suasana kelelahan atau berkegiatan hingga lupa makan, mempercepat munculnya malaria. Saya ingat seorang mujahid dakwah di Papua yang terkena penyakit paru-paru karena terlalu sering berjalan dengan sepeda motor menempuh jarak ratusan kilometer ke daerah transmigran untuk berdakwah. Kader itu kini telah tiada karena sakit yang dideritanya. Sakirno namanya. Semoga kini ia bahagia di sisi Allah.
Tak ada kalimat yang tepat untuk melukiskan kondisi semangat dan kesetiaan mereka. Hanya satu kata : luar biasa ! Sayang, masih sangat banyak kekurangan sarana yang mereka hadapi. Hanya ada satu mobil operasional dakwah di Papua, itupun mobil bak terbuka. Ini tentu ikut mempengaruhi optimalisasi kerja dakwah di Papua. Tentu akan lebih optimal jika ada sarana operasional yang memadai, di antaranya adalah mobil untuk sarana dakwah ke wilayah sekitar.
Saya yakin perkembangan dakwah di Papua akan semakin membesar, karena semangat dan energi yang luar biasa dari para aktivisnya. Mari lantunkan doa, sumbangkan cinta, untuk saudara-saudara aktivis dakwah kita di Papua.
Sangat cepat pemekaran wilayah ini. Dulu tidak sampai duapuluh kabupaten dan kota, sekarang Papua mekar menjadi 29 (duapuluh sembilan) kabupaten dan kota. Medan yang sangat sulit, wilayah yang luas, transportasi yang beresiko tinggi, biaya perjalanan yang mahal, kader yang terbatas, tidak pernah menyurutkan semangat para aktivis dakwah di Papua.
Segera terbayang oleh saya, betapa simpelnya dakwah di Yogyakarta. Empat kabupaten, satu kota. Jarak Gunung Kidul menuju Kulon Progo cukup ditempuh perjalanan darat satu setengah jam saja. Bayangkan di Papua. Perjalanan dari Merauke menuju Asmat, yang merupakan wilayah pemekaran dari Merauke, memerlukan waktu tiga hari tiga malam dengan kapal laut. Jika ditempuh dengan pesawat terbang, memerlukan waktu dua jam dari Jayapura.
Apa yang kita dapatkan di Asmat? Wilayah Asmat dipenuhi oleh rawa. Semua rumah penduduk, kantor pemerintahan, jalan bahkan lapangan olah raga, dibuat di atas rawa dengan papan kayu. Tidak ada daratan di kota Asmat, sehingga semua warga masyarakat berjalan kaki kemanapun mereka pergi. Termasuk Bupati dan para pejabat daerah lainnya. Bandara juga dibuat di atas rawa, dengan landasan dari “tikar besi” yang ditaruh di atas rawa. Apabila air sedikit naik, akan menutupi landasan besi tersebut sehingga pesawat tidak bisa mendarat atau terbang meninggalkan Asmat.
Jika kita naik pesawat, bersiap saja untuk menetap seminggu atau dua minggu lamanya di Asmat, menunggu pesawat berikutnya yang bisa mendarat dan terbang. Bukan soal menunggu, namun di Asmat tidak ada air bersih dari sumur apalagi PDAM. Adanya air rawa bersama hutan bakau. Air bersih hanya bisa didapatkan dari tampungan air hujan. Jika seminggu saja tidak ada hujan, masyarakat akan kesulitan minum air bersih, kesulitan mandi dan aktivitas yang memerlukan air lainnya.
Tidak ada mobil di kota Asmat, dan hanya ada sedikit motor, karena tidak ada jalan aspal atau jalan tanah. Yang ada hanyalah jalan di atas rawa, dari papan-papan kayu. Sepanjang mata memandang, yang tampak hanyalah rumah sederhana yang berdiri di atas papan kayu di atas air rawa. Kantor Bupati di atas papan kayu, kantor DPRD di atas papan kayu, kantor Dinas, sekolahan, lapangan sepak bola, semua di atas papan kayu. Semua di atas rawa. Kita harus siap berjalan kaki kemana saja.
Di kabupaten Asmat ada sepasang suami isteri kader dakwah, yang datang karena mutasi kerja. Mereka berdua yang membuka lahan dakwah dan tarbiyah di Asmat. Luar biasa perjuangan kader mujahid ini. Di kabupaten yang terpencil itu, ada aktivis dakwah yang berhasil menjadi anggota DPRD. Ini menandakan, penyebaran dakwah sudah sedemikian meluas, bukan terbatas di kota-kota besar. Bahkan di Asmat, sebuah kabupaten yang masih sangat tertinggal, telah pula diwarnai oleh dakwah dan tarbiyah.
Di Papua, saat ini kader inti dakwah bukan hanya terdiri dari kelompok pendatang. Beberapa warga asli Papua sudah menjadi kader dakwah. Diantaranya adalah mbak Vera, bapaknya warga asli Paniai dari marga Edoway. Ada pula pak Ibrahim yang putra asli Papua. Ini menjadi contoh bahwa dakwah sudah memasuki masyarakat asli Papua, bukan hanya di kalangan para pendatang non Papua. Saya juga merasa sangat terharu mendapatkan berita perkembangan sekolah-sekolah Islam di berbagai daerah di Papua. Ternyata sekolah Islam sudah sangat diminati, bahkan di Wamena yang jauh di daerah pegunungan sana, sekolah Islam telah sangat banyak peminatnya.
Mobilitas para kader di Papua sangat tinggi. Dengan jumlah yang sangat terbatas, mereka harus mengelola wilayah yang sangat luas. Setiap hari lalu lalang kader berjalan ke berbagai kabupaten untuk menunaikan amanah dakwah. Biaya perjalanan menjadi salah satu kendala, karena perjalanan antar kabupaten harus ditempuh dengan pesawat. Jika naik kapal, maka akan sangat menghabiskan waktu. Itupun tidak bisa menempuh semua wilayah, mengingat banyak wilayah yang berada di pegunungan.
Melihat mobilitas yang sangat tinggi itu, saya menjadi lebih mengerti mengapa perkembangan dakwah di Papua demikian pesatnya. Mereka harus terus bekerja. Mereka didera malaria. Satu per satu kader harus istirahat karena malaria. Jika suasana kelelahan atau berkegiatan hingga lupa makan, mempercepat munculnya malaria. Saya ingat seorang mujahid dakwah di Papua yang terkena penyakit paru-paru karena terlalu sering berjalan dengan sepeda motor menempuh jarak ratusan kilometer ke daerah transmigran untuk berdakwah. Kader itu kini telah tiada karena sakit yang dideritanya. Sakirno namanya. Semoga kini ia bahagia di sisi Allah.
Tak ada kalimat yang tepat untuk melukiskan kondisi semangat dan kesetiaan mereka. Hanya satu kata : luar biasa ! Sayang, masih sangat banyak kekurangan sarana yang mereka hadapi. Hanya ada satu mobil operasional dakwah di Papua, itupun mobil bak terbuka. Ini tentu ikut mempengaruhi optimalisasi kerja dakwah di Papua. Tentu akan lebih optimal jika ada sarana operasional yang memadai, di antaranya adalah mobil untuk sarana dakwah ke wilayah sekitar.
Saya yakin perkembangan dakwah di Papua akan semakin membesar, karena semangat dan energi yang luar biasa dari para aktivisnya. Mari lantunkan doa, sumbangkan cinta, untuk saudara-saudara aktivis dakwah kita di Papua.
*http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=1204
Posting Komentar