Selamat membaca dan mengambil ibrahnya
17 tahun yang lalu, saat masih aktif menjadi penulis buletin dakwah, aku membaca nama pelanggan yang memesan buletin tersebut. Hj. Robiatul Adawiyah, pasti wanita yang sudah tua. Sudah naik haji dan namanya jadul sekali. 
 
“Akhi, seperti apa sih ibu Robiatul ini,” tanyaku kepada Pak 
Marjani yang bertugas mengantar buletin. ”Ndak tahu, nggak pernah 
ketemu, yang saya tahu dia pesan buletin itu untuk dikirim via bis ke Kotabangun”. 
Wah wanita yang mulia, mau menyisihkan uang untuk berdakwah kepada 
masyarakat di hulu sungai Mahakam. Tak lama kemudian setelah kita 
menikah, Buletin Ad Dakwah dari Yayasan Al Ishlah Samarinda diantar ke 
rumah. Ternyata wanita mulia tersebut adalah engkau istriku, bukan 
wanita tua seperti yang kukira. Melainkan mahasiswi yang aktif mengajar 
di Taman Al Quran.
Istriku, beruntung aku dapat memilikimu. Sudah beberapa pemuda 
kaya yang mencoba mendekatimu tetapi selalu kau tolak. Kelembutanmu dan 
kedudukanmu sebagai putri seorang ulama besar menjadi magnet bagi para 
pria yang ingin memiliki istri sholehah. Kamu beralasan belum ingin 
menikah karena mau konsentrasi kuliah. Padahal alasan utamanya adalah 
kamu masih ragu dengan kesholehan mereka. Ketika Ustadzah Purwinahyu 
merekomendasikan diriku, tanpa banyak tanya kau langsung menerimaku. 
Hanya karena aku aktif ikut pengajian kau mau menerimaku, tanpa peduli 
berapa penghasilanku.
Istriku, semua orang mengakui bahwa kau wanita yang tangguh. 
Jarang seorang wanita bercita-cita memiliki delapan anak sepertimu. 
Melihatmu seperti melihat wanita Palestina yang berada di Indonesia. 
Jika bertemu dengan Ustadz Hadi Mulyadi, suami mba Erni ustadzahmu, 
pasti pertanyaan pertama kepadaku adalah, “ Berapa sekarang anakmu?”. 
Sering orang bertanya kepadaku, “ Gimana caranya ngurus anak sebanyak 
itu?” Mudah, rahasianya adalah menikahi wanita yang tangguh sepertimu.
Kehangatanmu membuat anak-anak kita merasa nyaman di dekatmu. Di saat 
kau lelah sepulang dari mengisi halaqoh atau ta’lim mereka segera 
menyambutmu dan melepaskan kekangenan mereka. Kadang lucu melihat mereka
 membuntuti kemana kamu pergi. Kamu ke dapur mereka bergerombol di 
sekitarmu, pindah ke ruang tamu, pindah pula mereka ke ruang tamu. Masuk
 ke kamar, berbondong-bondong mereka ke kamar. Sampai ada anak yang 
selalu memegang-megang bajumu dan kamu berkomentar,” Nih anak kayak 
prangko aja, nempeeel terus.” Jangan salahkan mereka, akupun memiliki perasaan yang sama dengan mereka.
Kadang jika cintaku meluap aku berkata padamu, ”Bener nih kamu ndak 
nyantet aku? Aku kok bisa tergila-gila begini sama kamu?” Kamu tersenyum
 dan berkata, "cinta Umi ke Abi lebih besar dari cinta Abi ke Umi, Abi 
aja yang ndak tahu.”
Rasulullah bersabda, "Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat 
mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan 
sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” (HR. 
Ahmad). Sungguh aku merasa telah mendapatkan segalanya dengan kau di 
sisiku.
Kepribadianmu yang mudah bergaul menjadikanmu disenangi oleh banyak 
orang. Kamal berkata, “Umi terkenal banget di sekolah. Aku, Mba Aisyah, 
Mas Nashih, Hamidah, Hilma ini terkenal di sekolah karena anak Umi. 
Guru-guru kenal kami karena kami anak umi.” Aku ingat perjuanganmu 
menggalang beberapa orang tua murid ke kantor diknas untuk meminta 
tambahan kelas agar anak kita yang terlalu muda bisa diterima sekolah. 
Akhirnya SDN 006 Balikpapan mendapat tambahan kelas dan anak kita bisa 
bersekolah di sana. Seharusnya aku yang melakukan hal itu, bukan kamu.
Aku terpesona dengan caramu menjalin silaturahim dengan keluarga 
besarmu. Ketika kita pindah ke Balikpapan, sering kakak-kakakmu menelpon
 menanyakan kapan liburan ke Samarinda. Mereka rindu kepadamu. Kakakmu 
KH. Fachrudin, seringkali menelpon, "Kita mau ngadain acara ini, kamu ke
 Samarinda kah?” Sya’rani, kakakmu yang sering bepergian ke Jawa, ketika
 mendarat di Balikpapan pun sering berkata, "Baru dari Jawa, mau ikut 
saya sekalian naik mobil ke Samarinda?” Keponakan-keponakanmu pun 
sering bertanya, “Acil Robiah kapan ke Samarinda?” Jika kita liburan ke 
Samarinda, maka kemeriahan meledak begitu mendengar suaramu mengucapkan 
salam. “Wah, Haji Robiah dari Balikpapan.”
Aku kagum dengan semangatmu melaksanakan amanah dakwahmu. Sering 
kerinduanmu kepada keluargamu tertahan karena ada amanah dakwah yang 
harus kamu kerjakan. ”Sebenarnya akhir pekan ini keluarga besar kumpul. 
Ada acara keluarga. Tapi ada halaqoh ini dan majelis talim ini jadi ndak
 bisa ke Samarinda.” Semoga Allah SWT memasukkanmu ke dalam barisan 
orang-orang yang berjuang menegakkan agama ini.
Kesibukanmu berdakwah memang menyita waktumu. Tapi aku ridho karena kau 
tetap komitmen untuk mengurus rumah tangga dengan baik. Aku ridho ketika
 PKS berdiri, kamu bergabung dan berdakwah bersama mereka. Kulihat kau 
begitu menikmati hidupmu yang mungkin bagi pandangan sebagian orang 
sangat melelahkan.
Kamu juga aktif mengisi kajian Siroh Shahabiyah di Radio IDC FM. 
Ketika engkau ingin berhenti karena hamil dan mengajukan ustadzah lain, 
mba Irna yang mengasuh acara menolak dan mengatakan sebaiknya cuti saja 
dan sementara akan diputar ulang rekaman yang terdahulu. Saya tahu 
mereka pun telah jatuh cinta kepadamu.
Saat Ustadz Cahyadi mengadakan pelatihan keluarga, beliau meminta para 
peserta menulis tentang pasangannya. Aku terkejut ternyata engkau 
mengenaliku dengan baik. Engkau tahu makanan yang kusukai dan kubenci, 
teman-teman yang kuanggap shahabatku, karakter-karakterku, dan 
teman-teman Halaqohku. Diam-diam engkau memperhatikanku. Terimakasih 
telah memahami diriku.
Pernah kau mengatakan bahwa kau ingin naik haji bersamaku. Aku 
mengatakan bahwa kamu sudah naik haji sehingga tidak wajib lagi. Kalau 
aku punya uang aku akan mengajak anak kita naik haji bukan kamu. Kamu 
berkata, “Aku akan kumpulkan uang daganganku agar bisa naik haji 
bersamamu.” Kamu pernah bercerita bahwa saking nikmatnya berada di Kota 
Mekah, kamu pernah berusaha tukar kloter dengan orang lain agar bisa 
bertahan lebih lama di kota Mekah.
Istriku, aku suka dengan caramu berbakti kepadaku. Ketika ustadz Muhadi 
mengajakku mendirikan SDIT Nurul Fikri Balikpapan kau pun mendukungku. 
Padahal kau tahu bahwa ini akan kembali mengurangi jatah uang belanja 
untukmu. Bahkan kau berkata, "Aku akan alihkan infaq-infaq yang selama 
ini ke lembaga zakat ke Nurul Fikri.” Selama ini kau memang menyisihkan 
uang transport dari mengisi majelis-majelis ta’lim untuk menunjang 
dakwahmu.
Istriku, aku menikmati sentuhan bibirmu ke pundakku sambil 
memelukku di saat kita naik motor berdua. Mungkin itu caramu menunjukkan
 kesetiaanmu. Aku tersanjung dengan gayamu menunjukkan cemburumu. Aku 
merindukan caramu menegurku jika engkau melihatku lalai dalam urusan 
agama kita. Aku merasa bahagia saat kau memujiku. Aku merasa hebat 
ketika engkau bermanja kepadaku.
Aku salut dengan kecintaanmu terhadap ilmu. Setiap ada ta’lim yang 
mendatangkan ustadz yang berkualitas kau berkata, “Harus duluan nih biar
 dapat duduk di depan.” Sayang, karena begitu banyaknya anakmu terkadang
 kau terhambat untuk berada di depan. Pernah kau begitu sedih karena 
tidak dapat menghadiri ta’lim yang diisi DR. Samiun Jazuli. Terlintas di
 dalam pikiranku, kelak aku akan membiayaimu untuk melanjutkan kuliah S2
 agar kau bahagia.
Kau juga begitu bersemangat mengikuti tatsqif (Kajian Tsaqofah Islam) 
yang diadakan oleh PKS. Ketika ada ujian tatsqif, kau berusaha 
mengerjakan soal-soal tanpa berusaha menyontek. Tiba-tiba kau mendengar 
peserta ujian yang lain di sebelahmu saling berbisik tentang jawaban 
soal yang engkau tidak bisa mengerjakannya. Kamu pun menulis jawaban 
tersebut. Sepulang ke rumah engkau begitu menyesal dan gelisah. Engkau 
merasa berbuat curang karena mengerjakan soal dari mendengar percakapan 
orang lain. “Gimana nih Mas, aku sudah nyontek?” tanyamu. Aku jawab 
sambil bercanda, "Telpon dosennya, minta dicoret jawabanmu yang dapat 
dari hasil mendengar itu”. Ternyata engkau benar-benar menelpon ustadz 
Fahrur agar jawaban atas soal tersebut dicoret saja. Itu yang sering 
kulihat darimu, begitu takut akan dosa-dosamu. Aku bangga padamu 
istriku.
Istriku, hal yang sering membuatku bergetar adalah di saat 
melihat engkau sholat. Begitu khusyuk dan menjaga adab. Tidak pernah aku
 melihatmu terburu-buru di dalam sholat. Aku menikmati melihat caramu 
menghadap Tuhanmu. Selelah apapun dirimu kamu selalu berusaha membaca Quran satu juz perhari.
 Engkau juga tidak ingin meninggalkan dzikir harianmu. Haru rasanya 
saat-saat melihatmu tertidur dengan Quran masih berada di tanganmu.
Sering aku berangan-angan aku akan membahagiakanmu kelak saat anak-anak
 sudah besar. Aku akan mengajakmu berjalan-jalan ke kota wisata. Aku 
akan membelikanmu perhiasan walaupun sekedarnya. Karaktermu yang tidak 
pernah meminta memang membuatku lalai memperhatikan kebutuhanmu. Bahkan 
motor pun tidak pernah kubelikan. Motor butut yang kau pakai adalah 
motor yang memang telah kau bawa dan kau miliki sejak masih gadis.
Aku yakin bahwa kebersihan hatimulah yang memancarkan aura persahabatan 
dari wajahmu. Banyak yang mengatakan kepadaku, ”Beliau adalah tempat 
saya menyampaikan curhat.” Terkadang kau terlambat pulang dari mengisi 
pengajian, ketika ku tanya kenapa terlambat, kau menjawab, “Kasihan ada 
yang pingin curhat, jadi dengerin dia dulu. Semoga Allah segera kasih 
dia jalan keluar.” Saya yakin mereka curhat kepadamu karena mereka 
merasakan kebaikanmu.
Kamu sering memujiku, “Suami yang pintar”. Kulihat, kamulah yang lebih 
pintar mengaplikasikan teori ke dalam praktek dunia nyata. Sebenarnya 
aku banyak belajar darimu. Kamu pintar sekali memulyakan orang lain. 
Kamu sering memberikan sesuatu kepada tetangga-tetangga kita. Terkadang
 aku malu karena yang kau berikan adalah hal-hal yang sederhana. “Malu 
ah ngasih ke tetangga segitu. Nggak level buat mereka.” Ternyata sikap 
perhatianmu kepada tetangga inilah yang membuat mereka mencintaimu.
Kamu mengatakan kepada pembantu kita, “Kumpulkan teman-teman yang lain, 
nanti saya yang membimbing bacaan Qurannya.” Dengan sabar kamu melatih 
mereka membaca Quran. Kau pun membelikan peralatan memasak sebagai 
hadiah kepada mereka yang lulus dan melanjutkan bacaan ke jilid 
berikutnya. Pernah kau melihat salah seorang diantara mereka sedang 
berlatih mandiri di rumahnya. Kau berkata, "Bahagianya aku Bi melihat mereka mau melatih bacaan secara mandiri.” Sampai terucap dari mulut pembantu kita, “Bu, saya ini mendapat hidayah dari tangan Ibu lho.”
Terkadang aku lupa untuk memberikan uang belanja, ketika kutanya engkau 
menjawab,”Aku pakai uang daganganku”. Kau kadang membelikanku baju 
sebagai hadiah ulang tahunku. Aku memang seorang yang berprinsip 
minimalis, terkadang jika ada barang yang menurutmu harus dibeli, aku 
mengatakan bahwa itu tidak perlu dibeli, kita da’i tidak usah terlalu 
mengejar kesempurnaan. Seperti biasa kau pun mengalah dan berkata, "Ya 
sudah pake uang aku aja.”
Ketika engkau mengalami pendarahan saat melahirkan anak kita yang ke 
delapan, engkau mengalami step. Sungguh hancur hatiku melihatmu 
menderita. Ketika dokter mengatakan butuh tiga kantung darah, aku segera
 keluar berlari menuju PMI tanpa sempat mengambil alas kaki. Aku sangat 
takut kehilangmu. Ketika diberitahu bahwa putra kita telah meninggal, 
aku sudah tidak peduli lagi, “Tolong selamatkan istri saya dok.” Setelah
 dioperasi kau sempat tersadar, aku tidak tega untuk mengatakan bahwa 
putra kita telah meninggal. Aku tidak ingin kau tahu bahwa kandungan 
yang sangat kau cintai dan sering kau elus-elus dengan penuh cinta telah
 mendahuluimu.
Dokter mengatakan bahwa kondisi sangat kritis, biasanya kondisi ini 
berakhir dengan kematian. Dengan kesedihan yang terus mengelayuti aku 
berkata, ”Umi tidak usah ngomong apa-apa, semua abi yang urus, Umi 
nyebut Allah saja.” Aku berharap seandainya Allah memanggilmu, maka 
ucapan terakhirmu adalah Allah. Walau tidak ada suara yang kudengar, 
kulihat mulutmu menyebut nama Allah dua kali. Saat itu aku bernazar, aku
 pun bertawashul dengan segala amalku agar Allah memberikan 
kesempatan agar engkau masih bisa bersamaku. Dan ternyata anak-anak kita
 bercerita bahwa saat itu di rumah mereka juga bernazar agar ibu mereka 
selamat.
Dengan sisa harapan yang tersisa di hatiku, aku berusaha membangkitkan 
semangatmu, ”Cepat sembuh, anak-anak kita menunggumu di rumah.” Engkau
 mengangguk-angguk. Ternyata Allah SWT sangat mencintaimu. Allah SWT 
ingin memberimu karunia syahid. Kematianmu karena melahirkan putra kita 
menunjukkan bahwa Allah ingin memberikan yang terbaik untukmu. 
Sebagaimana Rasulullah mengatakan bahwa wanita yang mati karena 
melahirkan termasuk orang-orang yang mati syahid.
Seorang shahabatmu, Ustadzah Mahmudah, menelponku, "Mba Robi itu kalau 
saya perhatikan sangat khusyuk kalau memimpin doa atau mengaminkan doa. 
Kalau berdoa, saat kalimat wa amitha 'ala syahaadati fii sabiilik
 (matikanlah jiwa kami dalam syahid di jalan-Mu) sering saya lihat mba 
Robi meneteskan air mata. Ternyata kita memang tidak boleh meremehkan 
kekuatan doa.”
Pak Emil tetangga kita berkata, ”Saya tidak pernah berinteraksi dengan 
almarhumah. Hanya istri saya yang bergaul dengannya. Tapi kepergiannya 
membuat saya merasa kehilangan sampai dua hari”. Mungkin dia shock karena melihat istrinya terguncang.
Ustadzah Sujarwati berkata, "Saya mengisi pengajian dekat SMPN 10, mereka bercerita bahwa almarhumah
 ustadzah Robiah yang merintis majelis ta’lim ini. Mereka semua kemudian
 menangis karena teringat istri sampeyan.” Banyak yang terkejut dengan 
kepergianmu. Ada yang baru mendengar kematianmu, datang ke rumah untuk 
kemudian menangis karena kehilanganmu.
Hari kematianmu menjadi saksi atas kesholihanmu. Begitu banyak yang 
datang untuk memberikan penghormatan kepadamu. Ustadz Muslim mengatakan,
 "Sahabat-sahabatnya dari pesantren Al Amin, Madura sudah siap-siap mau
 beli tiket untuk ke Balikpapan, tapi mendengar jenazah akan di bawa ke 
Samarinda mereka tidak jadi datang.” Beberapa ustadz datang dari 
Samarinda. Bahkan Ustadz Masykur Sarmian, Ketua DPW PKS Kaltim pun 
datang dari Samarinda dan menjadi imam yang mensholatimu. Aku pun 
melihat ustadz Cahyadi Takariawan, penulis buku dari Yogya, hadir di 
masjid itu. Mungkin Allah sengaja mengutus orang-orang sholih tersebut 
untuk mensholatimu dan menyempurnakan pahalamu. Motor-motor memenuhi 
jalan masuk ke komplek kita. Seseorang dengan heran mengatakan bahwa 
kemarin kepala kantor meninggal di komplek ini yang datang nggak 
sebanyak ini. Ini cuma ibu rumah tangga kok banyak banget yang datang.
Sesudah disholatkan di masjid Balikpapan, engkaupun dibawa ke Samarinda.
 Sampai di masjid Ar Raudhah, Aku melihat KH. Mushlihuddin, LC 
Koordinator Qiroati untuk Kalimantan hadir di sana. Kamu sering berkata 
bahwa kamu sudah menganggap beliau, guru mu membaca Quran, seperti ayah 
sendiri. Kecintaanmu kepada Quran membuat kamu mencintai beliau yang 
selalu komitmen berjuang menegakkan Al Quran di muka bumi. Sering kamu 
mengatakan bahwa kamu kangen dengan gurumu, ustadz Mushlih. Segera aku 
meminta beliau untuk menjadi imam sholat jenazah untukmu.
Kakakmu, Ibu Mursyidah berkata, ”Kepergiannya persis seperti ayahnya, 
KH. Abdul Wahab Syahrani. Disholatkan dari masjid ke masjid.” Sebelum 
meninggal beliau berwashiat untuk dikuburkan di Kotabangun. Karena 
washiat itu beliau disholatkan di tiga masjid di tiga kota oleh 
murid-murid beliau. Pertama disholatkan di Islamic Centre Samarinda, 
kemudian disambut oleh Bupati Kutai Kartanegara (Beliau adalah Ketua 
Majelis Ulama Indonesia Kab. Kukar) dan disholatkan di masjid agung 
Tenggarong, kemudian disholatkan kembali oleh murid-murid beliau di 
masjid Kotabangun.
Dengan lelehan airmata aku ikut memandikanmu, mengangkatmu, memasukanmu 
ke liang lahat. Seseorang berkata, "Antum duduk saja biar yang lain 
saja.” Tidak, Aku tidak mau kehilangan kesempatan ini. Aku sudah 
kehilangan kesempatan membahagiakanmu di dunia. Aku sudah kehilangan 
kesempatan membalas dengan baik pelayananmu kepadaku. Biarlah hari ini 
aku melayanimu walaupun sekedar mengurus jasadmu.
Terimakasih istriku, selama hidupmu kau selalu berusaha tidak 
merepotkanku. Ketika aku ke bengkel untuk menambal ban, aku mengabarkan 
kematianmu dan memohon doa untukmu. Tukang tambal ban, mendoakannya dan 
berkata, "Istri sampeyan sering ke sini sendiri, menuntun sepeda motor 
untuk menambal ban, atau kadang ganti ban motor”. Sekuat tenaga ku tahan
 airmataku. Aku tahu sebenarnya itu adalah tugasku. Kubayangkan adakah 
wanita lain yang mau menuntun motor ke bengkel untuk menambal ban karena
 tidak ingin merepotkan suaminya.
Mungkin kamu saat ini telah tersenyum bahagia bercanda bersama Abdullah,
 putra kita. Mungkin kamu sudah bertemu dengan ayah ibumu yang sangat 
kamu cintai. Walaupun aku betul-betul kehilanganmu, aku tahu bahwa 
karunia syahid yang Allah SWT berikan kepadamu adalah yang terbaik 
untukmu.
Istriku, aku menulis ini untuk menumpahkan rindu yang bergejolak di 
hatiku. Aku juga berharap agar orang yang membacanya mau meringankan 
lidahnya untuk mendoakanmu. Aku berharap tulisan ini dapat membalas 
jasamu kepadaku. Sungguh betapa lambatnya hari-hari berlalu tanpamu. 
Ingin rasanya aku segera masuk ke surga agar dapat bertemu kembali 
denganmu. Selamat jalan Khadijahku.....
Balikpapan, hari ke sembilan belas tanpamu di sisiku
Yang bersyukur mendapatkanmu
Suamimu,
Abu Muhammad
_____________________
*Cahyadi Takariawan: Kepergian Dua Ummahat Senior Itu Mengejutkanku